Jakarta – Perjalanan sejarah Kesultanan Ottoman dan anak benua India di bawah bayang-bayang Inggris menampilkan narasi yang sangat kontras, sebuah cerita yang menjelaskan mengapa satu kekaisaran terpecah-pecah sementara wilayah lain terpadu di bawah satu kendali. Perbedaan ini tidak terjadi begitu saja, melainkan hasil dari strategi, kondisi politik, dan tujuan ekonomi yang berbeda dari Kerajaan Inggris di kedua belahan dunia tersebut.
Banyak yang bertanya mengapa Inggris begitu bernafsu memecah belah Kekaisaran Ottoman, namun justru menyatukan ratusan kerajaan kecil di India. Jawabannya terletak pada status kedua wilayah tersebut pada masanya. Ottoman adalah kekuatan berdaulat yang bersekutu dengan pihak yang kalah dalam Perang Dunia I.
Sebagai negara yang kalah perang, nasib Kekaisaran Ottoman berada di tangan pihak pemenang, terutama Inggris dan Prancis. Mereka memandang wilayah Timur Tengah sebagai rampasan perang yang berharga, kaya akan sumber daya alam dan penting secara strategis. Pembagian wilayah Ottoman menjadi negara-negara kecil yang baru adalah cara paling efektif untuk mengamankan kepentingan mereka, termasuk mengontrol jalur perdagangan dan ladang minyak yang baru ditemukan.
Di sisi lain, India tidak pernah menjadi satu entitas politik yang bersatu sebelum kedatangan Inggris. Selama berabad-abad, anak benua ini adalah mozaik dari kerajaan-kerajaan independen yang sering kali saling berperang. Inggris tiba bukan sebagai pemenang perang yang memecah-belah musuh, melainkan sebagai pedagang yang perlahan-lahan beralih menjadi penguasa kolonial.
Selama lebih dari satu abad, Inggris secara sistematis menaklukkan dan menguasai kerajaan-kerajaan ini, dari utara hingga selatan, untuk menciptakan satu entitas politik tunggal yang dikenal sebagai British Raj. Tujuannya adalah untuk mengonsolidasikan kekuasaan, memfasilitasi eksploitasi sumber daya, dan mengubah India menjadi pasar raksasa bagi produk-produk industri Inggris.
Penyatuan India, yang bagi sebagian orang terlihat seperti berkah, bagi yang lain adalah bencana besar yang tak terbayangkan. Inggris memang membangun infrastruktur yang signifikan, seperti jaringan kereta api yang luas, jalan raya, dan sistem telegraf. Semua ini, menurut pembela kolonialisme, menjadi fondasi bagi India modern.
Mereka juga menunjuk pada sistem hukum dan administrasi yang seragam, yang pada akhirnya memberikan dasar bagi pemerintahan India pasca-kemerdekaan. Pendidikan modern dalam bahasa Inggris juga diperkenalkan, yang secara tidak langsung menciptakan kelas elit yang berpendidikan dan memimpin gerakan kemerdekaan di kemudian hari.
Namun, narasi ini jauh dari kata lengkap.
Mayoritas sejarawan dan akademisi modern menolak gagasan bahwa kolonialisme adalah "berkah tersembunyi." Mereka menekankan bahwa infrastruktur yang dibangun Inggris bukanlah untuk kepentingan India, melainkan untuk melancarkan eksploitasi ekonomi dan memobilisasi pasukan.
Sebelum kedatangan Inggris, India adalah salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia, dengan industri tekstil dan kerajinan yang maju. Kekayaan ini secara sistematis digerogoti oleh Inggris. Kebijakan pajak yang eksploitatif dan deindustrialisasi paksa menghancurkan perekonomian lokal dan mengubah India menjadi pemasok bahan mentah dan pasar konsumen bagi Inggris.
Kebijakan-kebijakan ini memiliki konsekuensi yang mengerikan. Bencana kelaparan yang menewaskan puluhan juta orang di berbagai wilayah India dianggap sebagai hasil langsung dari kebijakan ekonomi kolonial yang mengutamakan ekspor komoditas komersial daripada memastikan ketersediaan pangan bagi rakyatnya sendiri.
Lebih dari itu, Inggris menggunakan taktik "pecah belah dan kuasai" (divide and rule) yang secara halus memicu dan memperburuk ketegangan antara kelompok-kelompok agama, terutama Hindu dan Muslim. Kebijakan ini akhirnya memuncak dalam Partisi India yang tragis pada tahun 1947.
Partisi tersebut mengakibatkan salah satu migrasi massal paling brutal dalam sejarah, di mana jutaan orang mengungsi dan ratusan ribu lainnya tewas dalam kekerasan sektarian. Perpecahan ini, yang menciptakan India dan Pakistan, masih menjadi sumber ketegangan politik dan konflik hingga saat ini.
Dengan demikian, meskipun Inggris menyatukan wilayah-wilayah yang terfragmentasi di India, proses itu meninggalkan luka yang dalam. Berbagai warisan positif yang sering diklaim, seperti kereta api dan sistem hukum, tidak dapat menutupi kerusakan ekonomi, sosial, dan manusia yang tak terhitung jumlahnya.
Berbeda dengan Kekaisaran Ottoman yang pecah karena kekalahan perang, India dipaksa menjadi satu entitas di bawah kendali kolonial, hanya untuk pecah lagi pada akhirnya karena perpecahan yang ditanamkan oleh penjajahnya.
Akhir cerita untuk keduanya adalah runtuhnya kekuatan yang berkuasa. Ottoman berakhir sebagai republik modern, sementara India dan Pakistan lahir dari abu kolonialisme.
Meskipun cara keruntuhannya berbeda, nasib kedua entitas besar ini terikat pada ambisi dan kebijakan imperialisme Inggris yang ingin menguasai dunia.
Jadi, sementara Ottoman terpecah karena dianggap sebagai musuh yang kalah, India disatukan untuk dijadikan koloni yang lebih mudah dikendalikan dan dieksploitasi.
Ini adalah sebuah ironi sejarah yang menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi dan politiklah yang menentukan nasib suatu bangsa, lebih dari sekadar kondisi internalnya.
Inggris melihat India sebagai ladang subur untuk kekayaan dan pasar, yang paling baik dikelola sebagai satu kesatuan.
Sementara itu, wilayah Ottoman dipandang sebagai lokasi strategis yang lebih baik dipecah-pecah agar tidak ada kekuatan lain yang menguasainya.
Kedua cerita ini menjadi pengingat bahwa kolonialisme memiliki wajah yang berbeda, namun tujuannya selalu sama: dominasi dan eksploitasi.
Dan dalam kedua kasus tersebut, baik pecahan maupun persatuan yang dipaksakan, warisan penderitaan dan konflik menjadi jejak yang tak terhapuskan.
Warisan
Penyebaran pengaruh dan warisan Kekaisaran Ottoman hingga saat ini tidak hanya terbatas pada Republik Turki modern, tetapi juga terlihat jelas dalam pembentukan dan dinamika organisasi-organisasi internasional seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Liga Arab, dan Dewan Negara-Negara Turkic (Turkic Council). Tiga entitas ini, meskipun berbeda dalam fokus dan anggotanya, secara kolektif mencerminkan upaya untuk menjaga kohesi budaya, politik, dan agama di antara bangsa-bangsa yang dulunya berada di bawah satu payung kekuasaan Ottoman.
Liga Arab, yang didirikan pada tahun 1945, merupakan manifestasi paling langsung dari kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh runtuhnya Ottoman di Timur Tengah. Negara-negara Arab yang baru merdeka, yang sebelumnya merupakan provinsi-provinsi di dalam kekaisaran, merasakan kebutuhan untuk bersatu demi kepentingan bersama. Meskipun Liga Arab didirikan untuk mempromosikan kerja sama dan kedaulatan Arab, ia secara implisit merupakan warisan dari perpecahan dan kebangkitan nasionalisme Arab yang dipicu oleh keruntuhan Ottoman. Organisasi ini berupaya menciptakan kembali rasa persatuan yang pernah ada, meskipun secara struktural dan ideologis berbeda.
Di sisi lain, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mencerminkan dimensi religius dan pan-Islamisme dari warisan Ottoman. Sebagai kekhalifahan terakhir, Ottoman dianggap sebagai pelindung umat Islam di seluruh dunia. Setelah kekhalifahan dihapuskan, tidak ada lagi satu entitas yang memimpin umat Islam. OKI, yang didirikan pada tahun 1969, muncul sebagai respons terhadap kebutuhan untuk menyatukan negara-negara Muslim secara global. OKI berfokus pada isu-isu politik, sosial, dan ekonomi yang relevan bagi dunia Muslim, mengambil alih peran kepemimpinan spiritual dan politik yang pernah disandang oleh Kesultanan Ottoman selama berabad-abad.
Belakangan, pasca serangan Israel ke Doha, Qatar muncul wacana untuk membentuk semacam pasukan gabungan di tengah maraknya ideologi 'Perang Salib' di kebijakan administrasi Donald Trump.
Sementara itu, Dewan Negara-Negara Turkic, atau Turkic Council, menyoroti warisan etno-linguistik Ottoman yang lebih spesifik. Didirikan pada tahun 2009, organisasi ini bertujuan untuk mempromosikan kerja sama antara negara-negara berbahasa Turki. Meskipun Kekaisaran Ottoman adalah entitas multi-etnis, inti politik dan budayanya adalah Turki. Dewan ini menyatukan negara-negara seperti Turki, Azerbaijan, Kazakhstan, Kirgizstan, dan Uzbekistan—semuanya memiliki akar budaya dan bahasa yang sama yang terhubung, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan Kekaisaran Ottoman. Organisasi ini membuktikan bahwa ikatan linguistik dan sejarah dari masa lalu masih relevan dalam membentuk aliansi politik di masa kini.
Secara keseluruhan, OKI, Liga Arab, dan Turkic Council adalah bukti nyata bahwa warisan Kekaisaran Ottoman tidak lenyap begitu saja. Sebaliknya, warisan tersebut terfragmentasi dan mengambil bentuk-bentuk baru. Liga Arab mewakili dimensi politik dan etnis, OKI merepresentasikan dimensi religius, dan Turkic Council menyoroti ikatan budaya dan linguistik. Bersama-sama, mereka membentuk jaringan kerja sama yang kompleks di antara bangsa-bangsa yang pernah menjadi bagian dari kekuasaan Ottoman, menunjukkan bagaimana masa lalu yang panjang dan berpengaruh terus membentuk realitas geopolitik di abad ke-21.
Di luar OKI
Meskipun Organisasi Kerjasama Islam (OKI) seringkali dianggap sebagai pewaris dan penyatu dunia Muslim, ia sesungguhnya tidak mewakili seluruh populasi Muslim global. OKI adalah organisasi antar-negara yang hanya menerima keanggotaan dari negara-negara berdaulat yang diakui secara internasional. Karena batasan ini, banyak komunitas Muslim yang signifikan dan historis yang tinggal sebagai minoritas di negara-negara non-Muslim atau di bawah pemerintahan otoriter tidak memiliki representasi resmi di dalam OKI. Ini menciptakan kesenjangan besar, di mana jutaan Muslim di luar negara-negara anggota OKI merasa suara mereka tidak terdengar dalam forum Islam internasional.
Pewarisan warisan Ottoman yang menyatukan umat Islam tidak sepenuhnya terangkum dalam OKI, terutama jika melihat komunitas-komunitas Muslim yang tersebar luas di Rusia. Di wilayah Kaukasus Utara, Chechnya dan Dagestan memiliki populasi Muslim yang besar dan memiliki sejarah panjang perlawanan terhadap dominasi Rusia. Demikian pula di wilayah Volga, Tatarstan menjadi pusat budaya dan politik Islam yang penting.
Meskipun komunitas-komunitas ini memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan dunia Islam yang lebih luas, status mereka sebagai bagian dari Federasi Rusia menghalangi mereka untuk bergabung dengan OKI, yang mengakibatkan marginalisasi mereka dari diskursus politik Islam global.
Situasi serupa, bahkan lebih kompleks, terjadi di Tiongkok. Komunitas Muslim yang besar dan beragam seperti Uighur di Xinjiang, Hui di berbagai provinsi, dan Afar di Ethiopia, semuanya berada di luar jangkauan OKI. Uighur, yang mengalami penindasan dan pengawasan ketat dari pemerintah Tiongkok, menjadi salah satu contoh paling ekstrem dari komunitas Muslim yang terpinggirkan. Sementara itu, kelompok Muslim Hui telah lama berasimilasi dengan budaya Tionghoa, namun tetap mempertahankan identitas Islam mereka. Begitu juga Kashmir, Laksadewa dll di India.
Di Tanduk Afrika, Muslim Afar dan komunitas eks beberapa kesultanan yang tersebar di Ethiopia, Eritrea, dan Djibouti juga tidak memiliki suara kolektif yang kuat di forum-forum seperti OKI, meskipun mereka membentuk bagian penting dari mozaik Muslim Afrika.
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa gagasan "dunia Muslim" yang terwakili oleh OKI adalah konstruksi politik yang tidak mencakup realitas demografis dan geografis. OKI, meskipun bertujuan untuk menyatukan, pada kenyataannya hanya bisa mencakup mereka yang memiliki hak politik untuk berpartisipasi sebagai negara berdaulat. Akibatnya, jutaan Muslim yang tinggal di luar batas-batas geopolitik ini—dari Rohingya di Myanmar hingga komunitas Muslim yang lebih kecil di Eropa dan Amerika—terpaksa mengandalkan diplomasi ad-hoc dan dukungan dari negara-negara anggota OKI, daripada memiliki perwakilan langsung.
Dengan demikian, warisan penyatuan umat Islam yang dulunya dipegang oleh Ottoman tidak sepenuhnya diwarisi oleh satu organisasi. OKI mungkin menjadi simpul utama, tetapi ia tidak mewakili seluruh rajutan. Populasi Muslim yang terpinggirkan dan tidak bernegara, seperti Uighur, Chechnya, dan Rohingya, mengingatkan kita bahwa dunia Islam lebih luas dan lebih beragam daripada batas-batas keanggotaan OKI. Realitas ini menyoroti perlunya platform alternatif atau perluasan peran OKI untuk memberikan suara kepada mereka yang saat ini berada di luar forum politik utama umat Islam.
0 comments:
Post a Comment